RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Hari ini, tanggal 25 Juni merupakan hari kelahiran BJ Habibie, Presiden RI ketiga dan begawan teknologi Indonesia. Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto mengajak masyarakat meneladani dan meneruskan semangat dan cita-citanya memajukan teknologi nasional.
Mulyanto menilai ini adalah waktu yang tepat untuk merefleksikan kembali capaian riset, teknologi dan inovasi selama ini. Harapannya, capaian nasional di bidang ini bisa semakin meningkat, bukan malah merosot.
"Sebab, politik teknologi Indonesia hari ini semakin kabur. Tidak jelas. Terutama terkait dengan kelembagaan dan kebijakan," tegas Mulyanto dalam pernyataannya, Jumat (25/6/2021).
Mulyanto melihat ada tiga hal yang sangat mengganjal dalam pembahasan pengembangan ristek saat ini. Ketiganya adalah pembubaran Kemenristek, peleburan LPNK ristek seperti LAPAN, BATAN, BPPT dan LIPI ke dalam BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), serta aturan secara ex-officio, bahwa Ketua Dewan Pengarah BRIN dijabat oleh Anggota Dewan Pengarah BPIP.
Ketiga hal tersebut menurutnya terkesan dipaksakan, kurang memiliki dasar akademik yang matang. Sehingga hal tersebut mencerminkan ketidakpedulian pemerintah terhadap masa depan riset dan inovasi nasional.
“Kemenristek tamat. Lalu menjadi tidak jelas, lembaga mana yang berkewenangan mengkoordinasikan serta merumuskan dan menetapkan kebijakan riset dan teknologi secara nasional. Kemendikbud-Ristek atau BRIN? Dalam UU No. 11/2019 tentang Sistem Nasional Iptek juga tidak disebutkan secara definitif Menteri yang bertanggung-jawab terhadap urusan Iptek ini," tukas Mulyanto.
BRIN berbasis Perpres memiliki fungsi melaksanakan, mengkoordinasikan, serta merumuskan dan menetapkan kebijakan riset dan teknologi. Sementara Kemendikbudristek sesuai dengan Perpres memiliki fungsi yang sama.
"Inikan seperti dua matahari kembar, dualisme fungsi. Bedanya Kepala BRIN bukan anggota kabinet, seperti Mendikbudristek, sehingga tidak duduk satu meja dengan menteri-menteri lainnya," katanya.
Pada umumnya badan adalah special agency sebagai vehicle yang fokus untuk menjalankan fungsi pelaksanaan, bukan fungsi koordinasi, apalagi perumusan dan penetapan kebijakan (policy), karena BRIN bukanlah lembaga politik yang kepalanya menjadi anggota kabinet.
"Kementerianlah yang punya amanah politik untuk menjalankan fungsi koordinasi dan perumusan serta penetapan kebijakan," papar Mulyanto.
Selanjutnya hal kedua yang tidak kalah hebohnya, menurut Mulyanto, adalah rencana pemerintah melebur LPNK ristek seperti LAPAN, BATAN, BPPT dan LIPI serta Balitbang kementerian teknis ke dalam BRIN.
Menurutnya, logika pembuatan kebijakan itu terbalik. Dalam pengembangan kelembagaan Iptek di dunia, kecenderungan yang ada justru spesialisasi kelembagaan yang semakin tajam kompetensinya. Seperti yang dilakukan Jepang, Korea Selatan dan juga di Negara-negara Eropa Barat. Bukan sebaliknya, penggabungan yang lebih bersifat administratif-birokratis dengan alasan efisiensi anggaran riset.
"Upaya ini justru akan memunculkan lembaga riset yang sangat gemuk, lamban bergerak, dan birokratis," imbuh Mulyanto.
Mulyanto menambahkan, proses penggabungan itu tidak bisa cepat dilakukan. Banyak hal krusial yang harus dicermati. Selain soal susunan organisasi dan tata kerja (SOTK), soal manajemen administrasi, nomenkaltur anggaran, aset dan SDM. Belum lagi soal penyatuan budaya kerja, karakter, tradisi, etos dan jiwa korsa lembaga.
“Karena itu saya khawatir rencana ini alih-alih terjadi efisiensi dan peningkatan kinerja lembaga riset, yang timbul nanti justru adalah kemerosotan kinerja. Ini set back," tambah Mulyanto.
Menurutnya, pemerintah perlu menghitung ulang dengan cermat untung-rugi peleburan kelembagaan ristek ini. Apalagi amanat UU No. 11/2019 tentang Sistem Nasional Iptek adalah agar BRIN mengintegrasikan riset dan inovasi nasional dengan mengarahkan dan mensinergikan secara nasional terutama penyusunan perencanaan, program, anggaran, dan sumber daya Iptek lainnya, bukan untuk melebur seluruh lembaga riset.
Di sisi lain peleburan BATAN dan LAPAN, secara langsung menabrak Undang-Undang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran dan Undang-Undang No. 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan. Karena kedua lembaga ini bukan sekedar lembaga litbang, namun lembaga yang bertanggung jawab langsung kepada presiden untuk menjalankan urusan pemerintah di bidang ketenaganukliran dan keantariksaan.
"Terakhir adalah terkait aturan Ketua Dewan Pengarah BRIN dari BPIP. Logika ketentuan ini kurang masuk. Kalau dicari-cari mungkin saja ada hubungan antara haluan ideologi Pancasila dengan riset dan inovasi. Namun hubungan itu terlalu mengada-ada dan memaksakan diri," kata mantan Sesmen Kemenristek era SBY itu.
Sebagai mantan peneliti, Mulyanto dapat merasakan kegelisahan para pihak terkait wacana politisasi ristek ini.
"Sebaiknya lembaga litbang ini tidak dipolitisasi. BRIN adalah lembaga ilmiah biar bekerja dengan dasar-dasar ilmiah objektif, rasional dengan indikator out come yang terukur. Jangan dibebani dengan tugas-tugas ideologis," jelas dia.
Mulyanto merasakan dengan semakin banyaknya jejak-jejak karya Habibie yang dihapus, seperti Kemenristek, DRN (Dewan Riset Nasional), BPIS (Badan Pengelola Industri Strategis), DSN (Dewan Standarisasi Nasional), dimuseumkannya N-250 si Gatot Kaca dan sebentar lagi BPPT dan LPNK Ristek, terkesan ada dehabibienisasi.
"Kalau benar maka sikap ini tidak sehat. Refleksi hari lahir Habibie ini penting agar kita selalu on the track dalam membangun bangsa yang berdaulat, bangsa inovasi (innovation nation)," ujar Mulyanto.